Alooo gais..
Kali ini aku mau sharing perjalanan edukasi sejarah aku dari solo kota menuju ke pegunungan karanganyar, solo nih, yup, Candi Cetho. Candi ini tidak kalah bagus dari candi-candi yang lain, letaknya yang berada di dataran tinggi membuat candi ini nambah indah loh. Oiya, perjalanan ini dilakukan waktu pandemi tetapi tetap melakukan protokol kesehatan yaaa.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kabut Putih Candi Cetho
Candi bercorak Hindu yang berada di lereng Gunung Lawu ini merupakan peninggalan dari kerajaan Majapahit. Candi ini pertama kali ditemukan reruntuhannya pada tahun 1842 oleh Van De Vlies, kemudian reruntuhan ini digali lebih dalam oleh Dinas Purbakala pada tahun 1928 dan pada tahun 1970 an dilakukan pemugaran sepihak oleh asisten pribadi Suharto yaitu, Sudjono Humardani.
Saya berangkat dari Solo menuju tempat tujuan pukul 12.30 dengan mengendarai sepeda motor, dibutuhkan satu setengah jam - dua jam untuk sampai ditujuan. Kondisi jalan tidak ada kendala, hanya saja untuk pemotor sebaiknya menggunakan kendaraan yang semestinya bisa untuk tanjakan. Sepanjang jalan menuju Candi Cetho tidak membuat bosan, karena pemandangan kebun teh dan hawa yang sejuk membuat perjalanan tidak terasa. Untuk wisatawan berkendara motor yang ingin berkunjung pun sebaiknya tidak lupa untuk membawa jas hujan.
Sesampainya di Candi Cetho kami langsung memarkirkan sepeda motor bagian atas yang tidak begitu jauh, area parkir pun luas. Disini memiliki 3 area parkir yaitu, bawah, tengah dan atas (saran: yang lebih dekat dengan loket dan tidak begitu capek karena jalanan yang menanjak) dan ketika kita sampai akan langsung ditawari parkir kendaraan. Dari parkir kita berjalan menuju loket, biaya untuk masuk kurang lebih Rp. 15,000/orang kemudian membayar lagi untuk biaya perawatan seikhlasnya. Setelah itu akan mendapatkan kain untuk dipakai, kenapa diharuskan memakai kain? karena tempat ini masih aktif untuk ibadah masyarakat setempat jadi dianggap suci.
Ketika masuk kita akan disuguhkan dengan keindahan Candi Ceto yang terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk Candi Bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Ceto. Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh), pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi (tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuno. Di teras ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa. Pada aras ke-delapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Di bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan), untuk bagian ini biasanya ditutup dan tidak boleh memasukin area ini. Di Candi Cetho sendiri terdapat beberapa larang untuk menduduki candi (biasanya area yang sudah ada plangnya).
Candi Cetho ini juga merupakan jalur pendakian untuk menuju ke Gunung Lawu, saat itu kami bertemu dengan beberapa pendaki yang bersiap untuk naik dan ada juga yang beristirahat setelah mendaki. Disini juga terdapat kamar mandi yang bersih. Banyak juga warung-warung yang menjual berbagai makanan serta pedagang yang menjajakan pentol khas karanganyar. Untuk harga makanan relatif dan masih wajar. Saran saya, ketika ingin berkunjung sebaiknya jangan terlalu sore, karena kabut akan turun sehingga tidak bisa melihat pemandangan yang dapat dilihat dari atas candi.
No comments:
Post a Comment